Sejak awal hukum cadar ini memang selalu jadi bahan perdebatan Di kalangan para pakar hukum Islam. Ada yang mengatakan Wajib, ada yang mengatakan sunnah bahkan ada pula yang mengatakan makruh.
Karena itu pertimbangan memakai cadar seharusnya di dasari atas dasar dalil, bukan persangkaan apalagi perasaan, sehingga tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar atau kesulitan dalam menjalankan Islam yang sebenarnya mudah., sebagaimana firman Allah SWT……”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah : 185)
1. Pertimbangan dari sisi Dalil
Sebenarnya tidak ada kesepakatan dari kalangan para ulama tentang hukum cadar. Karena memang dalil yang digunakan masih umum dan sangat terbuka bagi setiap penafsiran. Misalnya dalil-dalil berikut ini :
a. surat Al-ahzab : 59
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “
Menurut yang mewajibkan cadar, ayat ini adalah dalil utama. Karena menurut pendapat ini makna jilbab adlah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas yaitu kain yang digunakan untuk menutup seluruh wajah wanita kecuali satu mata saja. Sebagaimana yang dikutip oleh ibnu katsir dalam tafsirnya.
Namun imam Asy syaukani dalam fathul qadir menjelaskan lebih luas perbedaan ulama dalam hal ini ;
“Al Jauhari mengatakan, jilbab adalah milhafah (kain yang sangat lebar). Sebagian ulama mengatakan, jilbab adalah al qina’ (sejenis kerudung untuk menutupi kepala dan wajah). Sebagian ulama mengatakan, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita. Sebagaimana dalam hadits shahih, dari hadits Ummu Athiyyah, bahwa ia mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab’. Lalu Rasulullah menjawab: ‘hendaknya ada dari kalian yang menutupi saudarinya dengan jilbabnya‘.
Al Wahidi mengatakan: ‘menurut para ulama tafsir jilbab digunakan untuk menutupi wajah dan kepala mereka kecuali satu matanya saja, sehingga diketahui mereka adalah wanita merdeka sehingga tidak diganggu orang’.
Al Hasan mengatakan: ‘jilbab digunakan untuk menutupi setengah wajah wanita’. Qatadah mengatakan: ‘jilbab itu menutupi dengan kencang bagian kening, dan menutupi dengan ringan bagian hidung. Walaupun matanya tetap terlihat, namun jilbab itu menutupi dada dan mayoritas wajah’ (fathul qadir)
sehingga, kata jilbab dalam ayat ini tidak dapat dipastikan bahwa maknanya adalah cadar, dan itu artinya ayat ini bukan ayat tentang cadar, tetapi ayat tentang wajibnya menutup aurat. Apalagi dengan memahami asbabun nuzul ayat ini, Sebagaimana ibnu katsir juga menjelaskan :
“As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. (Al-Ahzab: 59) Bahwa dahulu kaum lelaki yang fasik dari kalangan penduduk Madinah gemar keluar di malam hari bilamana hari telah gelap. Mereka gentayangan di jalan-jalan Madinah dan suka mengganggu wanita yang keluar malam. Saat itu rumah penduduk Madinah kecil-kecil. Bila hari telah malam, kaum wanita yang hendak menunaikan hajatnya keluar, dan hal ini dijadikan kesempatan oleh orang-orang fasik untuk mengganggunya. Tetapi apabila mereka melihat wanita yang keluar itu memakai jilbab, maka mereka berkata kepada teman-temannya, "Ini adalah wanita merdeka, jangan kalian ganggu." Dan apabila mereka melihat wanita yang tidak memakai jilbab, maka mereka berkata, "Ini adalah budak," lalu mereka mengganggunya.
Mujahid mengatakan bahwa makna ayat ini ialah hendaklah mereka memakai jilbab agar dikenal bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka, sehingga tidak ada seorang fasik pun yang mengganggunya atau melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadapnya. “ (tafsir ibnu katsir)
Jadi kita semakin mengerti, bahwa jilbab dengan segala maknanya diatas adalah terkait kondisi. Karena itu kondisi ini harus menjadi pertimbangan dalam menentukan jilbab kita. (akan dibahas pada poin berikutnya)
b. surat an-nur : 31
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung “
Diriwayatkann dari ibnu mas’ud bahwa yang tidak boleh Nampak di ayat ini adalah wajah. Sedangkan yang boleh kain bagian bawah. Ibnu mas’ud merujuk kebiasaan orang arab ketika itu, yaitu menutup wajahnya. Inilah yang digunakan dalil bagi kewajiban bercadar atau menutup wajah.
Tapi jika kita perhatikan lagi, ternyata banyak para sahabat tidak sependapat dengan ibnu mas’ud, seperti misalnya Aisyah, Ibnu Umar, Anas, bahkan ibnu abbas yang berpendapat jilbab itu menutupi seluruh wajah, anehnya dalam ayat ini beliau justru berpendapat bahwa wajah termasuk bagian tubuh wanita yang boleh Nampak. Mengapa demikian? Karena pada ayat ini Allah memerintahkan wanita mukmin untuk menggunakan “khimar” dan bukan “jilbab”.
{وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ}
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (An-Nur: 31)
Ibnu katsir menjelaskan “Al-khumur adalah bentuk jamak dari khimar, artinya kain kerudung yang dipakai untuk menutupi kepala; dikenal pula dengan sebutan muqani'.
Sa'id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firmannya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maksudnya, menutupi bagian leher dan dadanya; maka tidak boleh ada sesuatu pun dari bagian tersebut yang tampak.
Jadi sekali lagi ayat ini tidak bisa digunakan secara pasti untuk mewajibkan cadar. Karena itulah syaikh al-albani tidak berani untuk mengatakan cadar itu wajib sebagaimana dalam fatwanya beliau menjelaskan :
“Kami tidak mengetahui ada seorangpun dari shahabat yang mewajibkan hal itu. Tetapi lebih utama dan lebih mulia bagi wanita untuk menutup wajah. Adapun mewajibkan sesuatu harus berdasarkan hukum yang jelas dalam syari’at. Tidak boleh meajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.”
2. Pertimbangan Dari sisi pendapat fuqaha mazhab
Hal yang harus dipertimbangkan saat memutuskan memakai cadar adalah pendapat para ulama mazhab. Karena mereka lebih mengerti dalil daripada kita dan telah lebih dulu mendiskusikan dalil-dalil tersebut. Sehingga kita yang muqallid ini harus mengetahui agar bijak menyikapinya.
Dalam tulisan ini tidak akan merinci satu-persatu pendapat ulama mazhab melainkan hanya secara global saja. Saya kutip dari mausu’ah fiqhiyah kuwaitiyah (semacam ensiklopedi fiqh):
“Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya.
Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah,”
Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam shalat maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena hal itu termasuk berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan ketika di luar shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan. Mereka menyatakan bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang cantik, atau maraknya kebejatan moral.
Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134)
Dari paparan tersebut, yang kita dapat pahami bahwa hukum cadar bagi mayoritas ulama adalah tidak wajib, dan tidak pula sunnah, melainkan mubah (boleh). Karena bagi mereka wajah wanita bukanlah aurat yang harus ditutupi.
3. Pertimbangan dari sisi kondisi
Bila kita sudah sepakati bahwa wajah bukan aurat, berarti membuka atau menutupnya adalah boleh (mubah ) saja. Namun para ulama biasanya mengaitkan cadar ini dengan “takut terhadap fitnah”, sebagaimana perkataan para ulama mazhab dan asbabun nuzul surat al-ahzab ayat 59 diatas, maka harus dijelaskan makna fitnah yang sebenarnya sehingga kita paham betul kondisi kita saat ini dan dapat menjadi bahan bertimbangan.
Kata fitnah dalam bahasa Indonesia bermakna perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang. Karena itu kita seering mendengar saat seorang melempar tuduhan palsu ada yang berdalil “al fitnatu asyaddu minal qotl” fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan, yang ia maksud tuduhan tanpa bukti adalah lebih kejam dari membunuh.
Padahal kata fitnah itu diambil dari bahasa arab, Ibnu Faris dalam dalam kamus Maqayis al-lughah menjelaskan bahwa kata yang berasal dari huruf Fa, Ta dan Nun menunjukkan makna ujian dan cobaan. Begitu pula perkataan Al-Azhari dalam kitabnya Tahdzib al-lughah juga menjelaskan bahwa makna kata fitnah dalam perkataan Arab adalah ujian dan cobaan.
Namun kata fitnah juga banyak terdapat di dalam al-qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Berikut sebagian penjelasannya :
- Fitnah dengan makna ujian. Sebagaimana dalam firman Allah SWT.:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. (QS. Al-‘Ankabut [29]: 2)
Yang berarti bahwa Allah SWT. pasti akan menguji dan mencoba keimanan hamba-hamba-Nya yang mengaku beriman.
- Fitnah bermakna kesyirikan. Seperti dalam firman Allah SWT. :
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan..(QS. Al-Baqarah [2]: 191).
Ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud ayat ini menegaskan bahwa kesyirikan atau menyekutukan Allah SWT. itu lebih besar dosanya dari perbuatan dosa lainnya.
- Fitnah dengan makna menghalangi dan mencegah orang untuk berbuat baik. Seperti dalam firman-Nya:
وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّـهُ إِلَيْكَ
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu..(QS. Al-Maidah [5]: 49).
- Fitnah dengan makna siksaan. Seperti dalam firman-Nya:
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِن بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nahl [16]: 110).
Menderita cobaan dalam ayat ini maksudnya disiksa agar tidak memeluk Islam.
- Fitnah dengan maksud dibunuh atau ditawan. Seperti dalam firman-Nya:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS. Al-Nisa` [4]: 101).
Dalam ayat ini, kata fitnah ini bermakna dibunuh atau ditawan, dimana kaum muslimin ketika berperang dibolehkan untuk mengqashar sholatnya jika takut akan dibunuh atau ditawan oleh musuh.
- Fitnah dengan maksudnya menyesatkan. Seperti dalam firman-Nya:
وَمَن يُرِدِ اللَّـهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّـهِ شَيْئًا
Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah..(QS. Al-Maidah [5]: 41).
- Fitnah dengan maksud dibakar dengan api. Seperti dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. (QS. Al-Buruj [85]: 10).
Maksud dari kata fitnah dalam ayat ini adalah membakar, dimana orang-orang beriman dibakar hidup-hidup karena mereka beriman kepada Allah SWT.
- Fitnah dengan maksud ketidakjelasan antara yang hak dan yang batil. Seperti dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal [8]: 73).
Al-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat ini adalah ketidakjelasan antara yang hak dan yang batil sehingga orang banyak mencampuradukkan antara keduanya.
- Fitnah dengan makna gila. Seperti dalam firman-Nya:
بِأَييِّكُمُ الْمَفْتُونُ
siapa di antara kamu yang gila. (QS. Al-Qalam [68]: 6).
Dari berbagai macam makna fitnah di dalam al-quran ini dapat disimpulkan bahwa makna fitnah :
1. jika fitnah itu berasal dari Allah SWT. kepada manusia maka maksudnya antara dua yaitu, ujian dan siksaan baik di dunia maupun di akhirat
2. Jika fitnah itu berasal dari manusia untuk manusia yang lain, maka fitnah itu bermaksud pemaksaan atau penganiayaan disebabkan agama, dan juga bermaksud tipu daya dan muslihat agar orang meninggalkan agamanya
3. jika fitnah itu berasal dari setan maka maksudnya adalah tipu daya dan muslihat agar orang meninggalkan atau jauh dari ajaran agamanya.
Kembali lagi terkait pembahasan cadar. Ketika ulama mengatakan “ia boleh bercadar jika takut fitnah” itu maknanya bila ia membuka wajahnya maka ia akan diganggu laki-laki, diperkosa, digoda, dihina, dll.
Pertanyaannya adalah, jika kondisi suatu daerah belum bisa menerima cadar, lalu wanita yang bercadar dianggap ekstrem, teroris, ajaran sesat dll, apa yang kita lakukan ? padahal kita mengetahui bahwa bercadar hukumnya hanya mubah saja ?
Apakah kita tetap “ngotot” menggunakan cadar atau mempertahankan suatu yang mubah meski dibenci, dianiaya, di tuduh yang bukan-bukan ?
padahal bila kita tidak bercadar mereka menerima kita apa adanya ? dan kita aman-aman saja ?
bukankah dengan demikian pula kita dapat mengenalkan islam kepada wanita yang belum paham islam menjadi lebih leluasa?
bukankah menjalin hubungan baik sesama manusia adalah wajib ?
bukankah saat yang mubah menghalangi kita untuk melaksankan yang wajib maka kita wajib untuk meninggalkan yang mubah ?
Semoga Allah SWT memberkahi hidup kita, menunjukkan kita kepada jalan yang diridhoi-Nya dan menerima segala amal ibadah kita. Amiiin.