Mayoritas Ulama berpendapat haramnya seorang yang sedang haid, nifas atau junub berdiam diri di dalam masjid. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ibnu mas’ud dan beberap sahabat lainnya Radhiyallahu anhum.
Sedangkan imam ahmad bin hanbal, imam ibnu hazm
imam al khattabi dan Sebagian para sahabat berpendapat bolehnya berdiam dri di
masjid.
Lebih jelasnya, kami paparkan dalil-dalil serta jawaban dari kedua pendapat ini.
A. DALIL YANG MENGHARAMKAN BERDIAM DIRI DI
MASJID
PERTAMA :
. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغۡتَسِلُواْۚ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu medekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. ……(QS. An-Nisa : 43)
Yang dimaksud “mendekati shalat” dalam ayat tersebut adalah jangan mendekati tempat shalat yaitu masjid, kecuali hanya sekedar lewat saja.
Memang ayat ini
berbicara terkait hukum orang yang Junub, namun kemudian di qiyaskan darinya
wanita haid dan Nifas, karena mereka sama dalam hal berhadas besar yang mewajibkan
mandi besar. Sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya :
وَمِنْ هَذِهِ الْآيَةِ احْتَجَّ كَثِيرٌ مِنَ
الْأَئِمَّةِ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ،
وَيَجُوزُ لَهُ الْمُرُورُ، وَكَذَا الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ أَيْضًا فِي
مَعْنَاهُ؛
“dari ayat ini , para imam berhujjah bahwa di haramkan orang yang junub berdiam diri di masjid, kecuali sekedar melewati . begitu pula, bagi perempuan haid dan nifas, pada dasarnya sama; (tafsir ibnu katsir jilid 2 hal 311)
Namun mazhab yang membolehkan berdiam diri di masjid berpendapat bahwa yang dimaksud “jangan mendekati shalat” pada ayat ini adalah makna aslinya yaitu “janganlah engkau melaksankan shalat”. Keduanya memang disandarkn pada riwayat para sahabat.
Dan mazhab dzahiri tidak
menyamakn antara hukum junub dan haid, karena junub bisa langsung suci dengan
bersegera mandi sedangkan seorang yang haid tidaklah demikian, ia harus
menunggu beberapa waktu hingga terhenti darah haidnya barulah ia di perbolehkan
untuk mandi besar kemudian suci.
KEDUA :
وعن عائشة رضي الله عنها
قالتْ: قالَ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "إني لا أُحِلُّ
المَسْجِدَ لحائض ولا جُنُبٍ". رواه أبو داود. وصحّحه ابنُ خزيمةَ.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan junub." Riwayat abu Dawud dan hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Adapun mazhab yang membolehkan menyatakan hadits ini dha’if tidak bisa di jadikan hujjah keharaman berdiam diri di masjid.
Namun beberapa ulama ada yang mensahihkannya,
diantaranya ibnu khuzaimah, ibnu Qattan menilainya hadits hasan, begiu pula
az-Zaila’i, dan Imam asy-syaukani juga mensahihkannya. Syaikh bin baz
mengatakan “tidak ada masalah dalam sanadnya” artinya hadits ini masih dapat di
terima.
KETIGA,
hadits dari shahabat Ummu 'Athiyyah radhiyallhu
'anha, bahwa nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
يَخْرُجُ الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُورِ ،
أَوِ الْعَوَاتِقُ ذَوَاتُ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضُ ، وَلْيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ
وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِينَ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى
Artinya: "Hendaknya al-'awatiq (waniat-wanita yang sudah baligh) dan dzawatil khudur (wanita-wanita perawan yang belum menikah dan selalu menutup diri) serta wanita-wanita yang sedang haid keluar (untuk pergi ke mushalla) dan menyaksikan kebaikan dan doanya orang-orang beriman dan para wanita yang haid hendaknya menjauhi mushalla". HR. Bukhari, no. 324 dan Muslim, no. 890.
Rasulullh SAW telah melarang wanita yang haid
mendekati tempat shalat idul fitri, maka begitu pula dengan masjid wanita
dilarang mendekatinya.
Sedangkan mazhab yang membolehkan memandang
bahwa hadits di atas tidak bisa di gunakan hujjah keharaman berdiam diri di
masjid, Karena konteks hadits tersebut adalah saat shalat idul fitri dimana
Rasulullah dan para sahabatnya melaksankan itu di tanah yang kosong (lapangan),
dan semua tanah ini bisa di jadikan tempat shalat, jadi, menyamakan lapangan
tempat shalat iul fitri dengan masjid sangatlah tidak tepat. Lagi pula menurut
mazhab ini, yang dimaksud “mushalla” dalam hadits tersebut bukanlah tempat
shalat melainkan shalat itu sendiri.
B. DALIL YANG MEMBOLEHKAN BERDIAM DIRI DI MASJID
Sedangkan Dalil-dali dari mazhab yang
membolehkan berdiam diri di masjid bagi wanita haid adalah sebagai berikut :
PERTAMA,
Bara’ah Ashliyah, yaitu mengembalikan kepada
hukum asal, karena tidak ada hadits yang shahih dalam hal ini, sehingga di
kembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
KEDUA,
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ
ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ وَإِنۡ خِفۡتُمۡ عَيۡلَةٗ
فَسَوۡفَ يُغۡنِيكُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦٓ إِن شَآءَۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ
حَكِيمٞ ٢٨
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. At-Taubah : 28)
Ulama sepakat seorang musyrik yang disebut najis saja boleh masuk masjid berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad SAW saat mengikat tawanan musyrik di salah satu tiang masjid. Jadi, jika musyrik yang dianggap najis saja boleh berdiam diri di masjid lalu mengapa seorang muslim yang sudah jelas sucinya tidak boleh berdiam diri di masjid ?
Para ulama yang
mengharamkan menjawab pertanyaan tersebut dengan alasan, bahwa Islam telah
memberikan hukum tersendiri. Islam telah membedakan hukum kafir dan muslim,
maka dalam hal ini pula demikian, seorang yang haid telah ada hadits yang jelas
tentang keharamannya berdiam di masjid, dan bagi seorang musyrik telaah ada
pula dalil yang menunjukkan kebolehannya.
KETIGA,
Hadits dari Aisyah R.a,
ia berkata
قال لي رسول الله صلى الله عليه
وسلم (( ناولني الخمرة من المسجد فقلت: إني حائض و فقال: حيضتك ليست في يدك
Rasulullah s.a.w berkata kepadaku : Ambilkan aku الخمرة (kain yang digunakan untuk meletakkan muka ketika sujud) dari masjid lalu aku berkata : aku sedang haid. Rasulullah s.a.w bersabda : Haidmu itu bukan pada tanganmu.
Dalam hadits ini
mengisyaratkan bahwa kain itu berada di dalam masjid dan Rasul memerintahkan
Aisyah r.a untuk mengambilnya ke dalam masjid. Ini dalil bahwa tidak mengapa
seorang wanita haid berada di masjid.
Namun ada hadits lain
yang semakna dengan hadits diatas, yaitu sebagai berikut
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ إِذْ قَالَ يَا عَائِشَةُ نَاوِلِينِي الثَّوْبَ فَقَالَتْ إِنِّي لَا أُصَلِّي قَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي يَدِكِ فَنَاوَلَتْهُ
Abu Hurairah berkata; " Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di masjid, tiba-tiba beliau bersabda, 'Wahai Aisyah, ambilkan baju. ' Aisyah menjawab, 'Aku tidak shalat (sedang tidak suci). ' Beliau bersabda, "Haid tidak di tanganmu." Lalu diapun mengambilkannya." (an-Nasa’i)
Hadits ini justru menunjukkan bahwa Rasulullah SAW berada di dalam masjid sedangkan Aisyah r.a berada di dalam rumah beliau, dan Rasul memerintahkannya mengambilkan baju yang berada di dalam rumahnya, lalu aisyah memberikannya, berarti aisyah tidak masuk ke dalam masjid namun hanya mengulurkaan tangaannya saja untuk memberi pakaian kepada Rasulullah SAW.
Syaikh Abu Malik mengatakan, kedua hadits ini mengandung banyak kemungkinan, sehingga keduanya tidak dapat di jadikan hujjah.
Ini beberapa penjelasam
dari para ulama terkait hukum wanita haid berdiam diri di dalam masjid. Jika
kita perhatikan kedua mazhab sama-sama memiliki dalil, sehingga dalam hal ini
beberapa ulama (seperti syaikh Abu Malik) lebih memilih untuk tawaquf (tidak
menguatkan salah satunya). Namun bagi kita boleh memilih salah satunya. Hanya
saja sebaiknya bila seorang Wanita haid tidak memiliki kepentingan berdiam diri
di masjid hendaknya ia tidak melakukannya. Namun bila ada keperluan yang
mendesak, seperti belajar dan mengajar di masjid (karena tidak ada tempat yang
lain) maka tidak mengapa ia mengambil pendapat yang memudahkan. Wallahu a’lam.
Referensi :
- Kitab Shahih fiqh
Sunnah, Abu Malik
- Subulus salam syarah
bulughul maram, Ash-Shan’ani
- Minhaatul ‘alam Syarah
Bulughul maram, Abdullah bin Shaleh al-fauzan