رَأْسُ الأَمْرِ
الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya
(penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no.
3973. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
– رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – : (( إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ
مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ
فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ،
قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ،
فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ
أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ
))
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada
seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik,
sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia
telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah
Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka
disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula
dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.)
[HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa hadits ini shahih.]
Dengan demikian seorang hamba tidaklah boleh meninggalkan shalat
tanpa alasan, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun keadaannya. Termasuk saat
melakukan perjalan atau safar.
Allah SWT mengetahui bahwa dalam perjalanan tersebut terdapat
kesulitan dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, sehingga Allah SW
memberikan keringan bagi para musafir yang hendak melakukan shalat yaitu dengan
memperbolehkannya memendekkan shalat (shalat qosor) atau dengan menggabung dua
shalat (shalat jamak)
Namun dalam tulisan ini, kita akan membahas terlebih dahulu tentang shalat qasar, dan in sy a Allah terkait shalat jamak akan kita bahas dalam tulisan khusus.
Shalat Qosor
Shalat Qosor adalah keringanan dari Allah hanya untuk para
musafir, sehingga bagi yang muqim meskipun ia sedang sakit tidak boleh
melakukan qosor. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ
يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An Nisa’: 101).
Namun yang jadi permasalahan juga adalah kapan seorang bisa dianggap sebagai seorang musafir ? adakah minimal jarak yang harus ditempuh agar seorang bisa dianggap musafir lalu bisa mengqasar shalatnya ? disinilah para ulama mazhab berbeda pendapat.
Pertama, Mazhab Hanafi mensyaratkat perjalanan minimal 3
hari 3 malam dengan unta atau berjalan kaki. Maka bila kurang dari itu
seseorang belum lah diperkenankan mengqasar shalatnya. mazhab Hanafi berdalil
dengan qiyas, yaitu menyamakan hukumnya dengan mengusap khuf. Sebagaimana dalam
sebuah hadit yang diriwayatkan Ali bin abi thalib r.a :
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً
لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.”
Kedua, Mazhab mayoritas Ulama mensyaratkan perjalanan sejauh 4 burud, bila dikonversi menjadi kilometer menjadi kurang lebih 89 kilo meter (sebagaiamana pendapat syaikh wahbah zuhaili dalam kitab fiqh islami wa adillatuhu jilid 2 halaman 1343). Berdasarkan hadis Rasulullah SAW :
يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny)
Dan di hadits yang lain dinyatakan :
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari)
Ketiga, Adapun mazhab dzahiri, berpendapat bahwa setiap yang disebut safar makai a telah boleh mengqosor shalat.
Terkait pendapat yang terakhir ini tentunya sangat sulit bagi kita menentukan suatu perjalanan sudah disebut “safar” atau tidak, sebab di Indonesia tidak memiliki istilah “safar” sebagaimana di arab, yang ada hanya bepergian atau perjalanan. Sehingga kita tidak memiiliki tolak ukur yang pasti dalam menentukan sebuah perjalanan disebut safar. Apakah penentuan perjalanan disebut safar dilihat dari waktu yang ditempuh ? atau keletihan dan kesulitan yang dirasa selama perjalanan ? atau jarak perjalanannya ? Apakah perjalanan Bali-jakarta menggunakan pesawat hanya menempuh kurang lebih dua jam saja di sebut safar ? lalu bagaimana dengan perjalanan dengan sepeda motor antara wilayah dalam provinsi apakah juga disebut safar ?
Karena itulah menurut saya pribadi, pendapat mayoritas ulama mazhab dalam hal ini lebih bisa dijadikan pegangan dalam hal menentukan apakah perjalanan tersebut disebut safar atau bukan.
Permasalahan selanjutnya, berapa lama seorang musafir
diperbolehkan mengqosor shalat nya ?
Dalam membahas masalah ini para ulama menjelaskan bahwa ada
dua keadaan bagi seorang musafir ;
Yang pertama, musafir tersebut berniat menetap
ditempatnya yang baru
Yang kedua, musafir tersebut tidak berniat bermuqim dan akan kembali ke tempat asalnya,
Untuk keadaan yang pertama, para ulama berbeda pendapat, kapan seseorang dianggap "niat bermuqim" ? ,
1. Mazhab Hanafi berpendapat bila seorang musafir berniat tinggal ditempat yang baru selama
15 hari maka ia tidak boleh lagi mengqosor shalatnya.
2. Sedangkan mazhab Syafi’I berpendapat jika ia berniat
tinggal selama 4 hari, atau 20 shalat wajib sebagaimana penjelasan mazhab
maliki, maka ia sudah tidak boleh mengqosor shalatnya
3. Sedangkan mazhab hambali berpendapat, jika ia berniat
tinggal lebih dari 4 hari.
Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya penjelasan
yang rinci di dalam al-Qur’an maupun sunnah, sehingga para ulama mazhab
tersebut berijtihad.
Mazhab Hanafi misalnya berhujjah dengan qiyas, mereka meng
analogikan 15 hari tersebut dengan hari batas haid bagi seorang wanita, karena
kedua-duanya adalah waktu di wajibkannya kembali kepada waktu asli. Wanita haid
setelah 15 hari ia harus wajib shalat, dan bila setelah 15 hari darah masih
keluar maka darah tersebut bukan lagi darah haid melainkan darah istihadhoh.
Sedangkan mazhab maliki dan syafi’I berhujjah dengan sebuah
hadis dalam kitab shahih disebutkan “kaum muhajirin bermukim selama tiga hari
setelah menyelesaikan ibadah hajinya.”
Lalu yang manakah pendapat yang benar ?
Menurut saya, mengambil yang mana saja diperkenankan, hanya
saja agar kita lebih berhati-hati di dalam masalah syariat ini maka lebih baik
kiranya kita mengambil mazhab maliki da syafi’I, yaitu yang paling pendek
masanya. Bila ia berniat tinggal 4 hari maka ia sudah tidak boleh mengqasar
shalatnya.
Misalnya seorang pulang kampung. Jarak dari tempat tinggal
sampai kampung halamannya adalah 150 km. Maka selama telah melebihi 89 km ia
sudah boleh mengqasar shalatnya. dan bila ia sudah berniat akan menghabiskan
waktu dikampung halamannya selama 7 hari, maka saat ia sampai di kampung
halamannya ia sudah terhitung muqim, tidak boleh lagi mengqasar shalat, karena
ia telah berniat muqim selama lebih dari 4 hari, sebagaimana ketentuan mazhab
syafi’i.
Sedangkan jika ia hanya tinggal di kampugnya selama 2 hari,
maka ia masih tergolong musafir dan masih boleh mengqosor shalatnya selama
masih ada di kampung tersebut.
Adapun keadaan kedua, yaitu seseorang yang bepergian namun
tidak berniat muqim maka diperbolehkan baginya untuk terus mengqasar shalatnya meskipun
dalam jangka waktu yang lama.
Misalnya, seorang yang bepergian jauh untuk menyelesaikan suatu
tugas, ia tidak mengetahui kapan akan kembali lagi ke tempa asalnya, maka
selama berada dalam tugasnya itu ia boleh mengqosor shalatnya.
Wallahu a’lam bis showab