Masih Banyak Umat Islam yang enggan untuk berpartisipasi dalam pemilu di Indonesia, khususnya dalam memilih wakil umat islam di parlemen, disebabkan “kekecewaan” mereka terhadap para wakil umat yang dianggap tidak membawa perubahan. Apalagi dengan alasan, “siapapun yang terpilih tetap saja hukum Islam tidak dapat dijalankan.”

Tentu maksudnya hukum islam yang tidak dapat dijalankan adalah Sebagian dari hukum Hudud, seperti potong tangan untuk pencuri, rajam untuk penzina dan qishas untuk pembunuh. Padahal negara ini telah menerapkan beberapa hukum Islam misalnya, dalam hal pernikahan, waris serta toleransi dalam menjalankan agamanya masing-masing, semua itu adalah bagian syariat Islam yang tidak bisa dinafikan. Hal itu disebabkan negara ini bukanlah negara sekuler, dimana Agama hanya berada pada ruang privasi dan negara tidak boleh ikut campur.

Lalu mengapa hukum pidana dalam Islam belum juga diterapkan?

Sebenarnya ketidakmungkinan kita menerapkan hukum pidana Islam tersebut merupakan bagian dari syariat juga. Hal itu seperti seorang yang tidak mampu shalat berdiri, maka shalatnya dikerjakan dengan cara duduk, atau berbaring sesuai dengan kemampuannya. Begitu pula hukum-hukum islam yang tidak mungkin diterapkan di Indonesia, bila dipaksakan justru akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar.

Hal ini sebagaimana dalam hadis :

لا ضَرر ولا ضِرار

“Tidak dibolehkan membuat celaka terhadap diri sendiri dan orang lain (HR. Ibnu majah)

Dan juga sebagaimana dalam sebuah kaidah fikih :

مالا يدرك كله لا يترك كله

Dalam kondisi musim paceklik, Umar r.a saat menjadi khalifah, memutuskan tidak menerapkan hukum potong tangan kepada pencuri yang terpaksa melakukannya karena menyelematkan nyawanya disebabkan kondisi darurat.

Begitu pula perkataan Umar bin Abdul aziz saat ditanya anaknya Abdul Malik tentang mengapa ayahnya tidak menerapkan syariat dinegerinya secara serentak dan total :

وَفِيمَا يُحْكَى عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ ابْنَهُ عَبْدَ الْمَلِكِ قَالَ لَهُ: "مَا لَكَ لَا تُنَفِّذُ الْأُمُورَ؟ فَوَاللَّهِ مَا أُبَالِي لَوْ أَنَّ الْقُدُورَ غَلَتْ بِي وَبِكَ فِي الْحَقِّ". قَالَ لَهُ عُمَرُ: "لَا تَعْجَلْ يَا بُنَيَّ، فَإِنَّ اللَّهَ ذَمَّ الْخَمْرَ فِي الْقُرْآنِ مَرَّتَيْنِ، وَحَرَّمَهَا فِي الثَّالِثَةِ، وَإِنَّى أَخَافُ أَنْ أَحْمِلَ الْحَقَّ عَلَى النَّاسِ جُمْلَةً، فَيَدْفَعُوهُ جملة، ويكون من ذا فتنة"

“janganlah tergesa wahai anakku, Sesungguhnya Allah mula-mula mencela khamer sebanyak dua kali, baru melarangnya pada kesempatan ketiga. Sungguh aku khawatir bila aku memaksa manusia menerapkan syariat sekaligus, mereka akan menolaknya secara membabi buta dan justru menimbulkan fitnah besar” (As-Syatibi, al-muwafaqat, II/148)

 **** 

Kesimpulan, para Ulama bangsa ini lebih memahami kondisi Indonesia seutuhnya. Meninggalkan penerapan Sebagian Hukum islam khususnya terkait hukum hudud juga merupakan bagian dari syariah untuk menghindari mudharat yang lebih besar, seperti perpecahan sehingga melemahkan kekuatan bangsa. Wallahu a’lam bis showab.