Sebagai Seorang mukmin  tentunya kita akan selalu berpihak kepada kebenaran. Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa :

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا، وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ. ،وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً، وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

‘’Ya Allah, tampakkanlah kepadaku kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkanlah aku untuk mengikutinya serta tampakkanlah kepadaku kesalahan sebagai kesalahan dan kuatkan pula untuk menyingkirkannya.’‘ (HR Imam Ahmad).

Sehingga seharusnya seorang mukmin dalam perkara yang hak dan batil tidak pernah ragu untuk berpihak kepada kebenaran, apapun konsekuensinya.

Dalam kaitannya dengan politik, seorang mukmin yang terjun sebagai penentu kebijakan sebuah pemerintahan tentunya harus bisa bersikap sama, selalu berpihak kepada kebenaran. Hanya saja kita perlu menerjemahkan kata “kebenaran” dalam sebuah definisi yang konkret.

Karena itu, keberpihakan kepada kebenaran harus di terjemahkan menjadi dua hal :

1. keberpihakan kepada maslahat (manfaat) untuk umat, yang tidak bertentangan dengan syariat. Karena dalam beberapa kasus, kemaslahatan bisa saja bertentangan dengan hukum syariat yang pasti. Dan ini tidak boleh terjadi. Seorang politisi muslim harus menjadikan syariat sebagai landasan kerjanya.

 

2. berpihak kepada mustad’afin, yaitu orang yang teraniaya. Keberpihakan ini merupakan sunnah para Rasul, sebab tidak ada satupun rasul yang diutus ke dunia ini melainkan ia Berpihak kepada mustad’afin (orang yang teraniaya). 

Berpihak kepada dua hal ini berdasarkan surah an-nisa ayat 75

 

وَمَا لَـكُمۡ لَا تُقَاتِلُوۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَالۡمُسۡتَضۡعَفِيۡنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَآءِ وَالۡوِلۡدَانِ الَّذِيۡنَ يَقُوۡلُوۡنَ رَبَّنَاۤ اَخۡرِجۡنَا مِنۡ هٰذِهِ الۡـقَرۡيَةِ الظَّالِمِ اَهۡلُهَا‌ ۚ وَاجۡعَلْ لَّـنَا مِنۡ لَّدُنۡكَ وَلِيًّا ۙۚ وَّاجۡعَلْ لَّـنَا مِنۡ لَّدُنۡكَ نَصِيۡرًا

Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zhalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu."

Ayat ini memang berbicara tentang Peperangan dimana saat itu perang adalah cara terakhir yang dapat dilakukan untuk pembelaan terhadap orang-orang yang teraniaya. Maka dalam konteks kekinian dimana perang bukan merupakan sebuah keharusan, maka peperangan dapat diartikan sebagai bentuk perjuangan apapun semaksimal mungkin. 

kata "fi sabilillah" (di jalan Allah) dalam ayat ini menunjukkan bahwa perjuangan tidak boleh dilakukan di atas jalan selain Allah, baik itu diatas jalan hawa nafsu, jalan fanatik kesukuan, dll. Dan salah satu indikator kita berada diatas jalan Allah adalah hasil yang diharapkan tidak boleh bertentangan dengan syariat. inilah yang disebut "maslahat mu'tabaroh" dalam istilah usul fikih. 

Sedangkan mustad'afin adalah orang-orang yang teraniaya secara struktural. Ini meminjam istilah Prof,Dr. Kuntowijoyo. Mustad'afin adalah kesenjangan yang diakibat salah satunya dari penyalahgunaan kekuasaan. Berbeda dengan Dhu'afa yang merupakan kesenjangan alamiyah, cara mengatasi kesenjangan struktural tidak cukup hanya dengan mobilitas sosial, seperti zakat, infaq dan sedekah, melainkan memerlukan tindakan politik positif, yaitu negara harus membuat sistem yang memperhatikan serta melindungi mereka. Sebab itulah Keberpihakan kepada mereka secara politis sangat diperlukan. (baca juga : Dua Jenis Kesenjangan Dalam Masyarakat). Wallahu a'lam